Senin, 15 Desember 2014

Penyakit Early Mortality Syndrome (EMS)

A. Penyebab : bakteriofaga dari Vibrio parahaemolyticus

B. Karakteristik Patogen :
  • Menyerang udang windu dan vanamei dengan kematian dini (umur larva 10-30 hari)
  • Kematian masal 40-100 % dalam 4 hari
C. Gejala Klinis :
  • Hepatopankreas pucat dan mengecil, sulit pecah bila dijeit diantara dua jari 
  • Usus kosong
  • Kulit lembek
  • Berenang berputar
  • Udang yang sakit tenggelam danmati di dasar tambak

D. Diagnosa :
  • Amati gejala klinis yang nampak
E. Pengendalian :
  • Menjaga status kesehatan udang agar selalu prima melalui pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu
  • Desinfeksi air tambak dengan klorin 200 mg/liter selama 1 hari
  • Gunakan air bersalinitas rendah <20 g/liter
  • Jaga pH air pada 8 kurang lebih 0,2
  • Jaga alkalinitas > 100 mg/liter
  • Lebih berhati-hati dalam penggunaan probiotik terutama yang berasal dari isolat non lokal.

Macrobranchium White Tail Disease (PENYAKIT EKOR PUTIH PADA UDANG GALAH)

A. Penyebab : Macrobrachium rosenbergii nodavirus (MrNV) dan extra small virus (XSV)
B. Karakteristik Patogen :

  • Inang penyakit adalah sangat species specific yaitu udang galah (Macrobrachium rosenbergii) 
  • Keganasan tinggi, dalam tempo  2-3 hari meamtikan 100% populasi di perbenihan
  • Melalui infeksi buatan pada PL, Gejala klinis dan mortalitas yang etrjadi sama dengan infeksi alamiah; sedangkan pada udang dewasa, bagian sepalotorak lembek diikuti munculnya struktur dan kantung yang mengembung berisi cairan di kanan-kiri hepatopancreas.
  • Gejala Klinis yang sama, menyerupai branchiostegite blister disease (BBD) yang diikuti dengan kematian dilaporkan terjadi pada kolam pembesaran udang galah.
  • Distribusi : India dan Asia Tenggara (Thailand)
C. Gejala Klinis :
  • Lemah, anorexia dan memutihkan pada otot abdominal pada PL
  • Kondisi tersebut secara bertahap meluas ke dua sisi sehingga mengakibatkan degenerasi telson dan uropod
  • Warna keputihan pada ekor merupakan gejala klinis yang definitif, sehingga disebut penyakit ekor putih
  • Warna kehitaman (melanisasi) akan mengembangkan ke 2 sisi (anterior & posterior) dan menunjukkan degenerasi dari telson dan uropod
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Reaction (PCR)
  • In situ hybridiczation
E. Pengendalian :
  • Tindakan karantina terhadap calon induk dan larva udang galah yang baru 
  • Hanya menggunakan iinduk dan benih yang bebas MrNV dan XSV.
  • Menjaga kualitas Lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang

Penyakit Yellowhead

A.Penyebab : Yellow Head Virus (YHD), corona-like RNA virus (genus Okavirus, family Ronaviridae dan ordo Nidovirales)
B. Karakteristik Patogen :
  • Krustacea yang diketahui sensitif terhadap infeksi jenis virus ini antara lain : Penaeus monodon, P. merguensis, P. semisulcatus, Metapenaeus ensis, Litopenaeus vanameei dll. beberapa jenis udang penaeid yang terekspose oleh virus tersebut juga berpotensi sebagai pembawa (carrier).
  • Udang windu merupakan jenis udang yang sanagt sensitif terhadap infeksi virus tersebut, pada kasus akut dapat mengakibatkan kematian hingga 100% dalam tempo 3-5 hari sejak pertama  kali gejala klinis muncul,
  • Penularan terjadi secara horizontal melalui air atau kanibalisme terhadap udang yang sedang sakit atau pakan yang etrinfeksi virus.
  • Post larvae (PL udang windu berumur < 15 hari relatif resiten etrhadap infeksi virus ini dibandingkan dengan PL yang berumur 20-25 hari atau juvenil.
  • Vektor mungkin termasuk krustase sub klinis lain yang berlaku sebagai carrier.
  • Secara molekuler (Sequencing DNA) dari produk reverse -trasncription polymerase produk recerse-transsription polymerase chain reaction (RT-PCR) virus yellow head memiliki kemiripan dengan gill-associated virus (GAV). meskipun berbda jenis atau starin.
C. Gejala Klinis :
  • Juvenil udang berukuran antara 5-15 gram memiliki nafsu makan yang tinggi (abnormal) selama beberapa hari, untuk selanjutnya berhenti (menolak) makan secara tiba-tiba.
  • sekitar 3 hari setelah menolak makan, mulai terjadi kematian massal.
  • Udang yang sekarat berkumpul di dekat permukaan air atau ke sisi pematang kolam/tambak
  • Insang berwarna putih, kuning atau coklat 
  • Cephalothorax berwarna kekuningan, sedangkan bagian tubuh lain berwarna pucat.
  • Penyakit ini dapat menimbulkan kematian massal dalam waktu 2-4 hari
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Reaction (PCR)
E. Pengendalian :
  • Gunakan benur bebas YHV/SPF 
  • menjaga status kesehatan udang agar selalu prima melalui pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu
  • Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang 
  • Lakukan pemanenan di tambak/kolam pada saat terjadinya serangan penyakit, epmanenan dini tidak dapat mengurangi tetapi hanya mengeliminasi kerugian ekonomi,

Penyakit Monodon Bacula Virus (MBV)

A. penyebab : Penaeus monodon - type Baculovirus
B. Karakteristik Patogen :
  • Penyakit ini merupakan salah atu penyakit virus yang pertama kali dikenal pada budidaya udang penaeid di Indonesia, pda walnya sangat ganas dan dapat mengakibatkan keamtian PL dan juvenil udang windu hingga mencapai 90%
  • Penularan terjadi secara horizontal melalui air atau kanibalisme terhadap udang yang sedang sakit. ada keyakinan bahwa transmisi juga terjadi secara vertikal melalui induk yang sudah terinfeksi, meskiputn belum terbukti secara ilmiah.
  • Krustacea yang diketahui sensitif terhadap infeksi jenis virus ini antar lain : Penaeus monodon, P. merguensis, P. semisulcatus , Metapenaeus ensis, dll. beberapa jenis udang penaeid yang terekspose oelh virus tersebut juga berpotensi sebagai pembawa (carrier)
C. Gejala Klinis :
  • Lemah dan kurang nafsu makan
  • Infeksi sekunder oleh  organisme penempelan  (ekto parasit)  pada organ insang ataupun permukaan tubuh lainnya
  • Terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya  diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga berlanjut pada terjadinya kerusakan alat tubuh udang.
  • Hipatopankreas dan saluran pendernaan berwarna keputihan
D. Diagnosa :
  • Secara mikroskopis (preparat basah)
  • Polymerase Chain Reaction (PCR)
E. Pengendalian
  • Zonasi melalui pengaturan daerah bebas dan daerah terinfeksi yang didasarkan pada kegiatan monitoring & surveillance yang dilakukan secara longitudinal dan integratif
  • Penggunaan induk dan benur yang bebas infeksi MBV 
  • Penerapan sistem budidaya yang dapat menjamin bebas dari masuknya media pembawa MBV (biosekuriti)
  • Menghindari stress (fisik, biologi dan kimia) 
  • Menjaga status kesehatan udang agar selalu dalam kondisi prima, kualitas lingkungan budidaya yang nyaman serta kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai.
  • Pemberian unsur imunostimulan ( vitamin C) serta penggunaan materi bioremediasi/probiotik untuk mengurangi stressor biologis dan kimia sangat disarankan.

Penyakit Infectious Myonecrosis (IMN) atau " Penyakit udang rebus"

A. Penyebab : Toti -like virus (Totiviridae)
B. Karakteristik Patogen :
  • Penyakit Infectious Myonecrosis (IMN) merupakan penyakit yang relatif baru pada budidaya udang penaeid, Litopenaeus vanammei di Indonesia.
  • Selain sumber benur/induk dan lingkungan yang telah terrkontaminasi jenis virus tersebut, munculnya wabah IMN diduga sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim, stress fisik akibat sistem pengelolaan budidaya, serta kualitas pakan yang rendah.
  • Pola serangan penyakit bersifat akurat, ditandai munculnya gejala klinis secar tiba-tiba dan tingkat kematian yang semakin meingkat hingga mencapai antara 60-85%
  • Pada kenyataannya kasus penyakit para pembudidaya udang penaeid jarang terhadi sebagai infeksi tunggal, namun sering merupakan kompleks infeksi yang mengakibatkan lebih dari satu jenis virus (misalnya TSV bersama IMNV, atau IMNV bersama WSSV). Kondisi tersebut yang sering mengakibatkan tingkat kematian yang sporadis.
  • Pola serangan dapat pula bersifat kronis dengan tingkat kematian yang rendah namun persisten.
  • Mekanisme penularan penyakit ini dapat berlangsung secara vertikal (dari induk ke keturunannya) atau horizontak (dari udang yang telah terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi)
  • Sejauh ini hanya jenis udang vanamei yang rentan terhadap infeksi infectious Myonecrosis Virus (IMNV). Hasil infeksi memperlihatkan gejala klinis yang spesifik dan tidak mengakibatkan kematian.
  • Penyakit IMN tidak sama  dengan penyakit ekor putih pada udang penaeid. Meskipun penyakit ekor putih memiliki gejala klinis dan kerusakan jaringan yang mirip dengan penyakit IMN, namun penyakit tersebut disebabkan oleh jenis virus yang berbeda (nodavirus, Penaeus vanamei nodavirus -PVNV)
C. Gejala Klinis :
  • Kerusakan (nekrosa) brwarna putih keruh pada otot/daging menyerupai guratan, terutama pada otot perut bagian guratan, terutama pada otot perut bagian atas (abdomen) dan ekor.
  • Pada beberapa kasus, kerusakan daging putih keruh ini berubah menjadi kemerahan sehingga menyerupai warna udang rebus.
D. Diagnosa:
  • Polymerase Chain Reaction (PCR)
E. Pengendalian :
  • Zonasi melalui pengaturan daerah bebas dan daerah terinfeksi yang didasarkan pada kegiatan monitoring & surveillance yang dilakukan secara longitudinal dan integratif.
  • Penggunaan benur yang bebas infeksi IMNV
  • Penerapan sistem budidaya yang dapat menjamin bebas dari masuknya media pembawa IMNV (biosekuriti)
  • Menghindari stress (fisik, biologi dan kimia)
  • Menjaga status  kesehatan udang agar selalu dalam kondisi prima, kualitas lingkungan budidaya yang nyaman serta kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai.
  • pemberian unsur imunostimulan (vitamin C) serta penggunaa materi bioremediasi/probiotik untuk mengurangi stressor biologis dan kima sangat disarankan.

Penyakit Infectious Hypodermal & Haematopoletic Necrosis (IHHN)

A. Penyebab : Parvovirus
B. Karakteristik Patogen:
  • IHNV merupakan penyakit serius pada udang penaeid, terutama Panaeus stylirostris 
  • Penularan dapat terjadi secara horizontal dan vertikal. Tranmisi IHHNV relatif cepat dan efisien melalui luka akibat kanibalisme udang terutama pada periode leamh udang (terutama selama molting) ko-habitasi melalui transfer dalam air
  • Tranmisi vertikal dari induk ke larva umumnya berasal dari ovari induk betina terinfeksi (sperma jantan terinfeksi umumnya bebas virus)
  • PL awal yang terinfeksi IHHNV secara vertikal tidak tampak sakit, namun setelah berumur diatas 35 hari mulai muncul gejala klinis yang diikuti dengan kematian masal.
  • Individu udang yang pernah terinfeksi dan resisten terhadap IHHNV akan berlaku sebagai pembawa (carrier)
  • Infeksi IHHNV pada udang vanamei akan mengakibatkan pertumbuhan yang sangat beragam (mblantik), rostrum bengkok dan kutikula kasar.
C. Gejala Klinis:
  • Nafsu makan menurun, pertumbuhan lambat, perubahan warn kulit/karapas dan perubahan tingkah laku.
  • Berenang di permukaan secara perlahan, hilang keseimbangan dan bergerak berputar dan selanjutnya tenggelam perlahan dalam posisi terbalik
  • Bercak-bercak putih terutama antara segmen eksoskeleton dan karapas.
  • Udang yang sekarat umumnya berwarna merah kecoklatan atau pink
  • Populasi udang dengan gejala-gejala tersebut umumnya akan mengalami laju kematian yang tinggi dalam tempo 3-10 hari.
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Reaction
E. Pengendalian
  • Belumada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penerapan biosekuriti total selama prose produksi (a. 1 penggunaan benur bebas IHHNV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu, stabilitas kualitas lingkungan) sangat dianjurkan.
  • Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya aplikasi mikroba esensi probiotik, bacterial flock, dll)
  • Sanitasi pada semua peralatan dan pekerja dalam semua tahap proses produksi
  • Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat mencegah transmisi vertikal.
  • Pemberian unsur imunostimulan (mislanya suplementasi vitaminC pada pakan) selamu prose pemeliharaan udang

Penyakit Taura Syndrome (TS)

A. Penyebab : Picorna -like RNA virus
B. Karakteristik patogen :
  • TSV dikenal sebagai penyakit fase juvenil pada Litopenaeus vanammei, dan umumnya terjadi antara 14-40 hari pasca tebar di tambak, dengan kematian mencapai 95% apabila penyakit terjadi pada umur 30 hari pertama, kemungkinan infeksi berasal dari induk (vertical transmission ) namun apabila terjadi pada umur 60  hari pasca tebar, kemungkinan infeksi berasal dari media air (horisontal transmision)
  • Resistensi udang windu terhadap TSV masih beluma jelas, namun nampaknya lebih resitensi dibanding udang vanamei
  • Individu yang mampu bertahan TSV msih belum jelas,namun nampaknya infeksi TSV tetap berpotensi sevagai carrier.
  • Serangan TSV bersifat akut hungga perakut dan dapat mengakibatkan kematian antara 80-95% namun apabila tertolong, kelangsungan hidup dapat mencapai lebih dari 60%
  • Udang vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat kematiannya relatif rendah, Infeksi TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian massal.Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carries) TCV yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
C. Gejala Klinis :
  • Udang lemah, emnolak pakan yang diberikan, dan udang yang sekarat mendekat ke pematang.
  • Warna tubuh merah pucat, dan warna merah pada ekor kipas lebih tegas.
  • Pada infeksi berat, pernapasan yang tidak teratur pada insang yang terinfeksi
  • Pada infeksi berat (akut) sering mengakibatkan kematian massal, udang yang mengalami kematian didominasi oleh udang yang sedang/baru selesai ganti kulit  (moulting), saluran pencernaan kosong dan warna tubuh kemerahan.
  • Warna merah yang lebih tegas dapat dilihat pada ekor kipas (telson)
  • Udang yang selamat dari fase akut, umurnya mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang tidak beraturan di bawah lapisan kutikula.
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Reaction (PCR)
E. Pengendalian
  • Belum ada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penerapan biosekuriti total selama proses produksi (a. 1 penggunaan benur bebas TSV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu, stabilitas kualitas lingkungan) sangat dianjurkan
  • Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya aplikasi mikroba esensial probiotik, bacterial flock, dll)
  • Sanitasi pada semua peralatan dan pekerjaan dalam semua tahap proses produksi.
  • Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat ,mencegah transmisi vertikal
  • Pemberian unsur imunostimulan (misalnya suplementasi vitamin C pada pakan) selama proses pemeliharaan udang.
  • Teknik polikultur udang dengan spesies ikan(mis :tilapia) dapat dilakukan untuk membatasi tingkat patogenitas virus TSV dalam tambak, karena ikan akan memakan udang terinfeksi sebelum terjadi kanibalisme oleh udang lainnya.

Penyakit White Spot Syndrom (WSS) atau " penyakit bercak putih "

A. Penyebab : White Spot Baculovirus Complex
B. Karakteristik Patogen :
  • Virus memiliki kisaran inang yang luas yaitu golongan udang penaeid (Penaeus monodon , P, japonicus, P, chinensis, P. indicus, Litopenaeus vanamei, dll) serta beberapa krustacea air.
  • Sangat virulen dan menyebabkan kematian hingga 100% dalam beberapa hari. Individu yang bertahan hidup pada saat terjadi kasus tetap berpotensi sebagai carrier.
  • Belum diketahui jenis udang penaied yang resisten terhadap infeksi jenis virus ini.
  • Penularan umumnya terjadi melalui kanibalisme terhadap udang yang sakit dan mati, atau langsung melalui air. beberapa jenis krustacea juga diketahui sanagt potensial sebagai pembawa (carriers)
  • Burung dapat menularkan WSSV  dari satu petak tambak ke petak lainnya melalui bangkai udang yang lepas dari gigitnnya
  • WSSV mampu bertahan dan tetap infektif di luar inang (di dalam air) selama 4-7 hari.
C. Gejala Klinis :
  • Infeksi akut akan mengakibatkan penurunan konsumsi pakan secara drastic
  • Lemh, berenang ke permukaan air, tidak terarah atau mengarah ke pematang tambak.
  • Tampak bercak putih dikerapas dan rostrum, tidak selalu tampak pada fase acu tetapi akan tampak pada fasesubacute dan kronis
  •  Populasi udang dengan gejala-gejala tersebut umumnya akan mengalami laju kematian yang tinggi hingga 100% dalam tempo 3-10 hari.
D.Diagnosa :
  • Polymerase Chain Raection (PCR)
E, Pengendalian :
  • Belum ada teknik pengobatan yang efektif, oleh karena itu penrapan biosekuriti tatal selama proses produksi (a.i penggunaan benur bebas WSSV, pemberian pakan yang tepat jumlah dan mutu, stabilitas kuialitas lingkungan) snagat dianjurkan.
  • Menjaga kualitas lingkungan budidaya agar tidak menimbulkan stress bagi udang (misalnya aplikasi mikroba esensial : probiotik, bacterial flock, dll)
  • Sanitasi pda smeua peralatan dan pekerja dalam semua tahap proses produksi.
  • Desinfeksi suplai air dan pencucian dan/atau desinfeksi telur dan nauplius juga dapat mencegah tranmisi vertikal.
  • Pemberian unsur imunostimulan (misalnya suplementasi vitamin C pada pakan) selama proses pemeliharaan udang
  • Teknis polikultur udang dengan spesies ikan (mis : tilapia) dapat dilakukan untuk membatasi tingkat patogenitas virus WSSV dalam tambak, karena ikan akan memakan udang terinfeksi sebelum terjadi kanibalisme oleh udang lainnya.
  • Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian immunostimulan yang berasal dari herbal dengan menggunakan tanaman Rumput Grinting/rumput bermuda(Cynodon dactylon)  dengan cara 2 g tanaman  dicacah halus, kemudian ditambahkan 100 ml air dan dicampurkan kedalam pakan. Inkubasi selama 15 menit dan lapisi dengan gel lalu keringkan. dan simpan pakan tersebut pada suhu kamar.

Penyakit Viral Nervous Necrosis (VNN) atau Viral Encephalopathy and Retinopaty (VER)

A. Penyebab : Ribo Nucleic Acid (RNA) virus yang masuk dalam kelompok non-enveloped nodavirus
B. Karakteristik Patogen :
  • VNN menginfeksi lebih dari 20 jenis ikan laut, dan merupakan penyakit yang serius para pembudidaya marikultur 
  • Penularan dapat terjadi secara vertikal dan horizontal
  • VNN terutama mempengaruhi system syaraf ikan, dan organ target yang selama ini diyakini memiliki prevalensi partikel virus tertinggi adalah otak dan retina mata. namun secara empirisme, pada organ reproduksi (gonad/ovari dan sperma) juga memiliki prevalensi relatif tinggi.
  • VNN umumnya total (100 %) dalam tempo 1-2 minggu, namun dapat pula menginfeksi kerapu dewasa (200-2.000 gram/ekor) dan menyebabkan kematian massal
C. Gejala klinis :
  •  Pergerakan tidak terarah
  • Berenang seperti spiral
  • Hilang keseimbangan atau berenang berbalik hiperaktif
  • Sering menghentakkan kepala ke permukaan air secara sporadic.
  • Hilang nafsu makan
  • Lemah
  • Warna tubuh pucat
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Reaection (PCR)
E. Pengendalian :
  • Pemberian vaksin anti VNN
  • Seleksi induk dan larva (bebas VNN) dengan PCR
  • Higienes terhadap seluruh sarana dan selama proses produksi
  • Desinfeksi telur dengan iodine atau azone, kemudian setiap batch larva kemudian dipelihara dalam wadah yang berbeda.
  • Minimalisir penanganan induk selama proses pembenihan
  • Tidak menerapkan sistem resirulasi air pada pemeliharaan larva/juvenil
  • Mengurangi kepadatan larva dari 15-30 ekor/L menjadi lebih kecil dari 15 ekor/L
  • Meningkatkan jumlah pergantian air baru
  • Pemeliharaan dalam "air hijau" secara ekstensif juga dapat mengurangi prevalensi juvenil/ikan terhadap infeksi VNN

Penyakit Iridovirus (Grouper Sleepy Disease Iridovirus)

A.Penyebab : Family Iridoviridae, Genus Ranavirus
B.Karakteristik Patogen :
  • Iridovirus merupakan virus beruntai ganda DNA (dsDNA) dengan ukuran diameter 160-200 nm. Replika virus terjadi di dalam sitoplasma sel yang terinfeksi, dan secara in vitro dapat tumbuh dengan baik pada kultur daringan yang berasal dari ikan kerapu.
  • Penularan terjadi secara horizontal dan air terkontaminasi merupakan media penularan yang paling potensial.
  • Insang rentan meliputi beberapa jenis ikan kerapu, menginfeksi tubuh ikan secara sistematik dan organ yang menjadi target infeksi antara lain ginjal dan limfa.
  • Infeksi virus ini menyebabkan kematian yang cukup tinggi (20-50%) hanya dalam jangka waktu beberapa hari - minggu, setelah ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
  • Proses perjalanan iridovirus di dalam tubuh ikan bukan hanya menyerang organ hemapoetik (ginjal dan limpa)  tetapi menyerang semua organ seperti hati, jantung, timus, lambung dan usus yang penyebarannya terjadi melalui sistem peredaran darah.
C. Gejala Klinis :
  • Gejala klinis seperti nafsu makan yang berkurang, pergerakan renang yang lemah dan tidak berorientasi serta berdiam diri di dasar bak dengan keadaan berbaring pada salah atu sisi tubuh.
  • Warna tubh ikan menjadi gelap dan mengalami anemia akut, hal ini terlihat dari warna insang yang pucat dan kadar hematocrit yang rendah
  • Serangan iridovirus memunculkan gejala pembengkkan pada organ limpa dan menyebabkan 
D. Diagnosa :
  • Polymerase Chain Raection (PCR)
E. Pengendalian :
  • Pemberian vaksin anti iridovirus
  • Pengendalian seara spesitic belum ada, namun untuk pencegahan penyakit virus dapat dilakukan dengan sanitasi pada semua  peralatan dan tahapan budidaya.
  • Minimalisir "stress " selama proses transportasi
  • Mengurangi kepadatan

PENYAKIT VIRAL (VIRAL DISEASE)

Penyakit Koi Herpesvirus (KHV)
A. Penyebab : cyprinid herpesvirus- 3 atau CyhV-3
B. Karakteristik Patogen :
  • Virus DNA, penyebab utama kematian masal pada ikan mas dan koi
  • Hanya menginfeksi ikan mas dan koi jenis ikan lain tidak terinfeksi, termasuk dari family cyprinidae
  • Tidak menular ke manusia yang menkonsumsi atau kontak dengan ikan terinfeksi KHV (tidak zoonosis)
  • Sangat virulen, masa inkubasi 1-7 hari dengan kematian mencapai 100%
  • Keganasan dipicu oleh kondisi lingkungan, terutama suhu air kurang dari 26oC dan kualitas air yang buruk.
  • Penularan melalui kontak antar ikan, air/lumpur & peralatan perikanan yang terkontaminasi, serta media lain : sarana transportasi, manusia dll.
  • Ikan yang bertahan hidup (suvivors ) dapat berlaku sebagai pembawa (carriers) atau menjadi kebal, namun tetap berpotensi sebagai carriers.
  • Kekebalan terhadap KHV tidak ditransfer ke keturunannya.
  • Diagnosa definitif dengan teknik Polymerase Chain  Reaction (PCR). Diagnosa dini masih sulit dilakukan termasuk terhadap ikan carriers KHV.
C. Gejala Klinis :
  • Nafsu makan menurun, gelisah (nervous) 
  • Megap-megap, lemah dan ekses mucus.
  • Insang pucat, terdapat bercak putih (white patch), akhirnya rusak dan membusuk
  • Kulit melepuh (umumnya pada ikan koi)
  • Sering diikuti infeksi sekunder oleh parasit, bakteri dan/atau jamur
  • Kematian masal bisa terjadi dalam waktu 24-48 jam
D. Diagnosa :
  • Definisi kasus KHV
    • Terjadi pada ikan mas dan/atau koi
    • Terjadi kerusakan insang pada ikan yang mati.
    • Terjadi kematian masal dalam waktu singkat (1-7 hari)
  • Diagnosa berbasis molekuler/serologis
    • Polymerase Chain reaction (PCR)
    • Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
    • Immunohistochemistry
  • Isolasi virus pada kultur jaringan yang sesuai
E. Pengendalian :
  • Vaksinasi anti-KHV dan/atau pemberian unsur imunostimulan
  • Desinfeksi sebelum/selama proses produksi
  • Manajemen kedehatan ikan yang terintegrasi
  • Ikan bebas KHV & karantina  (biosecurity)
  • Mengurangi padat tebar dan hindari stress
  • Budidaya ikan sistem polikultur
Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman bawang putih (Allium sativum L) Seperti pada pengendalian Trichodiniasis.

Ice-Ice pada rumput laut

A.Penyebab :Lingkungan dan beberapa jenis bakteri : Pseudo alteromonas gracilis, Pseudomonas spp., dan Vibrio spp.
B. Karakteristik Patogen :
  • Ice-ice merupakan penyakit pada rumput laut. Pemicu utamnya akibat perubahan lingkungan yang mendadak salinitas, suhu air dan intensitas cahaya. Pemicu lain adalah serangan hama seperti ikan baronang, penyu hijau, bulu babi dan bintang laut menyebabkan luka pada thallus.
  • Pada keadaan stress, rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah di sekitarnya.
  • Kaus ice-ice pada budidaya rumput laut dipicu oleh fluktuasi parameter kualitas air yang ekstrim (kdar garam, suhu air, bahan organik terlarut dan intensitas cahaya matahari). Perubahan kondisi parameter tersebut sangat terkait dengan musim.
  • serangan hama seperti ikan baronang, penyu, bulu babi, dan bintang laut juga sering mengakibatkan kerusakan fisik pada thalus rumput sehingga mudah terinfeksi oleh mikroorganisme
  • Pertumbuhan bakteri ada thallusakan menyebabkan bagian thallus menjadi putih dan rapuh, selanjutnya, mudah patah, dan jaringan menjadi lunak yang menjadi ciri penyakit ice-ice.
  • Pada umumnya penyebarannya secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantara air.
  • Infeksi akan bertambah berat akibat serangan epifit yang menghalangi penetrasi sinar matahari sehingga tidak memungkinkan thallus rumput laut melakukan fotosintesa
C. Gejalan Klinis :
  • Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih. Thallus menjadi rapuh dan mudah putus.
  • Gejala yang dipelihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan beberapa cabang thallus menjadi putih dan membusuk
D. Diagnosa:
  • Pengamatan secara visual dan mikrobiologis.

E. Pengendalian :
  • Penggunaan bibit unggul merupakan cara yang sangat penting untuk pengendalian penyakit ice-ice
  • Desinfeksi bibit dapat dilakukan dengan cara dicelupkan pada larutan PK (potasium permangat) dengan dosis 20 mg/liter
  • Pemilihan lokasi budidaya yang memenuhi persyaratan optimum bagi pertumbuhan rumput laut
  • Penerapan teknik budidaya yang memenuhi persyaratan optimum bagi pertumbuhan rumput laut.
  • Penerapan teknik budidaya yang disesuaikan dengan lingkungan perairan
  • Memperhatikan musim dalam kaitannya dengan teknik budidaya yang hendak diterapkan.

Vibriosis pada udang

A. Penyebab : Vibrio harveyii, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus, dll.
B. Karakteristik Patogen :
  • Vibrio pada larva udang umumnya sebagai penginfeksi sekunder terutama pada saat dalam keadaan stress dan lemah.
  • Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan dengan kondisi stress akibat : kepadatan tinggi, malnutrisi, penanganan yang kurang baik, infeksi parasit, bahan organik tinggi, oksigen rendah, kualitas air yang bururk, fluktuasi suhu air yang ekstrem, dll.
  • Serangan bersifat akut, dan apabila kondisi lingkungan terus merosot, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100% terutama pada stadia PL atau juvenil
C. Gejala Klinis :
  • Tubuh udang nemapak kusam dan kotor
  • Nafsu makan menurun, kerusakan pada kaki dan insang berwarna kecoklatan
  • Jenis bakteri vibrio spp. yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpedar ( luminescent vibriosis)
  • Udang yang terserang menunjukkan gejala nekrosis, kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, bercak merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala.
  • Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan bagian kaki renang (pleopod) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi.
  • Udang yang sekarat sering berenang ke permukaan atau pinggir pematang tambak.
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan Identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia
E. Pengendalian :
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan udang
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitaminC pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
  • Menghindari terjadinya stress ( fisik, kimia, biologi)
  • Pengelolaan kesehatan udang secara terpadu

Vibriosis pada ikan

A. Penyebab : Vibrio alginolyticus, V. parahaemolyticus, V.vulnificus, V. ordalii, dll.
B. Karakteristik Patogen :
  • Merupakan bakteri pada ekosistem air laut, dan vibriosis masih merupakan masalah utama bagi industri budidaya ikan laut.
  • Kasus vibriosis dapat terjadi sepanjang tahun, namun umumnya terkait dengan stress akibat penanganan, kepadatan tinggi ataupun perubahan cuaca yang ekstrim
  • Tingkat kematian ikan pada stadia larva hingga ukuran fingerling yang terserang bakteri ini dapat mencapai 80-90%
C. Gejala Klinis :
  • Lemah, hilang nafsu makan, berenang di permukaan air, dan warna kulit buram
  • Inflamasi pada anus, insang, mulut, pangkal sirip, yang diikuti dengan pendarahan dan lepuh pada permukaan tubuh, serta luka terbuka.
  • Pada infeksi lanjut terjasi perdarahan pada mulut dan pangkal sirip, ekses lendir pada insang, dropsy, warna hati pucat, dan mata membengkak
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia
E. Pengendalian
  • Melakukan vaksinasi anti vibriosis
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
  • Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (Ikan, Lingkungan dan patogen)

Enteric Septicemia of Cathfish (ESC)

A. Penyebab: Edwarsiella ictaluri
B. Karakteristik Patogen :
  • Edwardsiella ictaluri berbentuk batang, bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella, tidak membentuk spora atau kapsul dan bersifat fakultatif anaerob,
  • Bakteri ini awalnya diketahui menginfeksi ikan cannel catfish, namun belakangan diketahui dapat menginfeksi jenis ikan lainnya seperti : lele, patin, dan sidat. secara eeksperimental, beberapa jenis ikan seperti trout, nila, salmon dan ikan hias juga dapat terinfeksi jenis bakteri ini
  • Penularan secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui air.
  • Kasus ESC umumnya terjadi pada saat suhu air relatif hangat (22-28 0C), namun pada saat suhu air di bawah 20 0C atau di atas 30 0C, keganasan bakteri ini sangat menurun.
C. Gejala Klinis :
  • Lemah, hilang nafsu makan, warna insang pucat, terkadang mata menonjol dan/ atau perut bengkak (dropsy)
  • Sering pula ditemukan adanya petechiae (bintik-bintik merah ) pada bagian tubuh yang tidak berpigmen ( di bawah dagu, perut atau di pangkal sirip)
  • Berenang di permukaan air atau di tepi kolam dengan kepala mengarah ke atas
  • sebelum mat, biasnaya ikan berenang seperti kejang dan/atau berenang berputar seperti spiral
  • Terdapat bercak-bercak putih pada organ dalam (hati, limfa, ginjal, dll)
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan Identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia
  • Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)
E. Pengendalian :
  • Melakukan vaksinasi anti Edwardsiella ictaluri
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pda pakan) secara rutin selama pemeliharaan
  • Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
  • Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air baru.
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)

Minggu, 14 Desember 2014

Edwarsiellosis

A. Penyebab : Edwarsiella tardo
B.karakteristik Patogen :
  • Edwarsiella tardo berbentuk batang bengkok, bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella, tiak membentuk spora atau kapsul, bersifat fakultatif anaerob, dan mampu memproduksi H2S.
  • Bakteri ini dapat dijumpai di lingkungan air tawar dan air laut, menginfeksi beberapa jenis ikan antara lain : salmon, catfish, ikan mas, nila dll. beberapa inang alamiah bisa  bertahan sebagai carrier
  • Penularan secara horizontal yaitu kontak antara inang satu dengan inang lainnya atau melalui air.
  • Kasus edwardsiellosis umumnya terjadi pada suhu air yang relatif tinggi kurang lebih 30 o C dan kandungan bahan organik tinggi
  • Tingkat kematian tergantung pada kondisi lingkungan, pada kondisi yang sangat buruk dapat mengakibatkan keamtian hingga 50%
C. Gejala Klinis :
  • Gejala eksternal ikan yang terserang edwardsiellosis pada infeksi ringan, hanya menampakkan luka-luka kecil
  • Sebagai perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otak rusak dan lambung.
  • Pada kasus akut akan terlihat luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran.
  • Pucat, perut gembung berisi cairan yang berwarna kekuningan atau kemerahan, pendarahan pada anus dan/atau anus tertekan ke dalam, dan mata pudar.
  • Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) mengalami pembengkakan dan apabila digores akan tercium bau gas H2S.
D.Diagnosa :
  • Isolasi dan Identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia
  • Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)

E. Pengendalian :
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan.
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
  • Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
  • Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi pergantian air baru
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
  • Pengobatan dengan herbal menggunakan  daun emniran (Phyllanthus niruri L., P urinaria L) dengan cara seperti pengobatan penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophilla.

Bakterial Fin/Tail Rot/Psedomoniasis

A.Penyebab : Pseudomonas spp
B. Karakteristik Patogen :
  • Merupakan bakteri gram negatif dan-spora, bakteri ini bersifat aerobik, motil, memproduksi pigmen fluorescent, dan berkembang biak di tanah dan air.
  • Penyakit pseudomoniasis merupakan penyakit bakteri yang sering terjadi pada semua umur & jenis ikan, baik ikan air tawar maupun air laut.
  • Pseudomonas ini merupakan agen penyakit yang berbahasa terutama pada ikan air tawar serta dapat berakibat kematian yang tinggi karena penyakit ini menular dalam waktu cepat bila kondisi perairan memungkinkan.
  • Penularan bisa terjasi kalau ikan rentan atau lemah akibat lapar, pakan tidak cocok, atau kondisi air tidak baik.
C. Gejala Klinis :
  • Ikan lemah bergerak lambat, bernafas megap-megap pucat dan warna tubuh berubah gelap.
  • Terdapat bercak-bercak merah pada bagian luar tubuhnya dan kerusakan pada sirip, insang dan kulit
  • Mula-mula lendir berlebihan, kemudian timbul pendarahan
  • Sirip dan ekor rontok (membusuk)
  • Pendarahan, perut ikan menjadi kembung yang dikenal dengan dropsy.
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.
E. Pengendalian :
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pakan ) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Menghindari kualis air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekuensi pergantian air baru
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
  • Kurangi pemeberian pakan dan jumlah ikan dalam kolam
  • Ikan direndam dalam larutan PK 20 mg/liter selama 30 menit

Penyakit Mycobacteriosis /Fish TB

A.Penyebab :Mycobacterium marinum (air laut) dan M. fortuitum (ar tawar)
B. Karakteristik Patogen :
  • Bakteri gram positif, berbentuk batang pendek dan non-motil
  • Infeksi Mycrobacterium bayak dilaporkan pada ikan yang dipeliharan pada lingkungan perairan tentang (stagnant) dan sistem resirkulasi, sehingga jenis ikan seperti gurame dan cupang yang cocok pada kondisi tersebut
  • kolam tanah hujan dan pekarangan dengan sumber air terbatas lebih rentan terhadap infeksi jenis penyakit ini.
  • ikan yang terinfeksi Mycobacterium menunjukkan gejala yang variatif, namun sering pula tidak menunjukkan gejala klinis dama sekali.
  • Pola serangan mycobacteriosis bersifat kronik-sub akut, baik pada ikan air tawar, payau maupun ikan air laut.
  • suhu optimum berkisar 25-34 oC, tetapi masih dapat tumbuh baik pada suhu 18-20 0 C.
C. Gejala Klinis :
  • Hilang nafsu makan, lemah, kurus mata melotot (exoptihamia) serta pembekakan tubuh
  • Apabila menginfeksi kulit, timbul bercak-bercak merah dan berkembang menjadi luka, sirip dan ekor geripis.
  • pada fase infeksi lanjut, secara internal telah terjadi pembengkakan empedu, ginjal dan hati serta sering ditemukan adanya tubercle/nodule yang berwarna putih kecoklatan.
  • Gejala penyakit mycobacteriosis tidak selalu tampak, dan bervariasi antar individu ikan yang terserang.
  • Pertumbuhan lambat, warna pucat dan tidak indah terutama untuk ikan hias
  • Lardosis, skoliosis, ulser dan rusaknya sirip ( patah-patah) dapat terjadi pada beberapa ekor ikan yang terserang.
D.Diagnosa :
  • Isolasi dengan menggunakan media selektif, dan identifikasi melalui uji biokimia
  • Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)
E.Pengendalian
  • Pengendalian vaksin anti Mycobacterium fortuitum
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pda pakan) secara rutin selama pemeliharaan 
  • Ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
  • Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi bakteri tersebut.
  • Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau menignkatkan frekuensi pergantian air baru
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
  • Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman.
    • Kipahit ( Piscrasma javanica) dengan cara : mencacah disampurkan dengan 1000 L air untuk perendaman ikan yang sakit selama 3 jam.
    • Kirinyuh (Chromolaena ordorata) dengan cara seperti pada pengobatan penyakit yang disebabkan Aeromonas Hydrophilla

Penyakit Streptococciases

A.Penyebab : Streptococcus agalactitie , S. iniae.
B. Karakteristik Patogen :
  • Bakteri gram positif, berbentuk bulat kecil (cocci) bergabung menyerupai rantai, non-motil, koloni transparan dan halus.
  • Infeksi Streptococcus iniae sering terjadi pada budidaya ikan air laut : sedangkan S algalactie lebih banyak ditemukan pada ikan budidaya air tawar.
  • Pola serangan kedua jenis bakteri tersebut umumnya bersifat kronik-akut.
  • Jenis ikan air laut yang sering dilaporkan terkena penyakit sreptococciasis adalah kakap dan kerapu, sedangkan pada ikan air tawar adalah ikan nila.
  • Target argan infeksi streptococcus spp. banyak ditemukan diotak dan mata, sehingga disebut " syndrome meningoecephalitis dan panophthalmitis" dan ikan yang terinfeksi sering menunjukkan tingkah laku abnormal seperti kejang atau berputar serta mata menonjo (exopthalmus)
  • Penyakit ini sering dilaporkan pada sistem budidaya intensif, lingkungan perairan tenang (stagnant) dan/atau sistem sirkulasi.
  • Infeksi bakteri ini berkaitan dengan kondisi stress akibat: kepadatan tinggi malnutrisi, penanganan yang kurang baik, bahan organik tinggi, oksigen rendah kualitas air yang buruk, fluktasi suhu air yang ekstrim, dll.
  • Secara kumulatif,akibat serangan penyakit ini dapat menimbulkan mortalitas 30-100 % dari total populasi selama masa pemeliharaan dan penyakit ini merupakan kendala potensial yang harus diantisipasi berkenaan dengan program intesifikasi dan peningkatan produksi nila nasional.
C. Gejala Klinis :
  • Nafsu makan menurun, lemah, tubu berwarna gelap, dan pertumbuhan lambat, 
  • Warna gelap di bawah rahang, mata menonjol, pendarahan, perut gembung (dropssy) atau luka yang berkembang menjadi borok.
  • Sering pula infeksi Streptococcus spp. tidak menunjukkan gejala klinis yang jelas kecuali kematian yang terus berlangsung.
  • pergerakan tidak terarah (nervous) dan pedarahan pada ttutup indang (operculum)
  • sering pula ditemukan bahwa ikan yang terinfeksi terlihat normal sampai sesaat sebelum mati.
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan Identifkasi bakteri melalui uji bio-kimia
  • Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)
E. Pengendalian
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pencegahan secara dini (benih) melalui vaksinasi anti-streptococcus spp.
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
  • Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air baru.
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan patogen)
  • Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan menggunakan daun Babandotan (Ageratum conyzoides L) dengan cara yang sama pada pengendalian penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophilla.

Columnaris Disease

A.Penyebab : Flavobacterium columnare atau Fexibacterium columnare
B. Karakterisrik Patogen :
  • Bakteri gram negatif, berbentuk batang kecil, bergerak meluncur, dan terdapat di ekosistem air tawar.
  • Sifat bakteri ini adalah berkelompok membentuk kumpulan seperti column.
  • Infeksi bakteri ini umumnya berkaitan dengan kondisi stress akibat : fluktuasi suhu air yang ekstrim dan kualitas air yang buruk.
  • serangan sering terjadi pada kelompok ikan pasca transportasi
  • sifat serangan umumnya sub acut-acut , apabila insang yang dominan sebagai target organ, ikan akan mati leas dan kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%.
C. Gejala Klinis :
  • Luka di sekitar multu, kepala, badan datau sirip. luka berwarna putih kecoklatan kemudian berkembang menjadi borok.
  • Infeksi di serkitar mulut, terlihat seperti diselaputi benang (thread-like) sehingga sering disebut penyakit jamur mulut.
  • di sekeliling luka tertutup oleh pigmen berwarna kuning cerah . 
  • Apabila menginfeksi insang, kerusakan dimulai dari ujung filamen insang dan emrambat ke bagian pangkal, akhirnya filamen membusuk dan rontok (gill rot)
D.Diagnosa :
  • Pengamatan preparat  tetes gantung secara mikroskopis (400x) untuk melihat adanya kolam bakteri pada organ target infeksi.
  • Isolasi dan identifikasi melalui uji biokimia.
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum ada selama proses pemeliharaan ikan.
  • Pemberian umur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
  • Perendaman dengan garam dapur 0,5 % atau kalium permangat 5 mg/liter selama 1 hari.
  • Memperbaiki kualitas iar secara keseluruhan terutama mengurangi kadar bahan organik terutama dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air baru.
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan pathogen)
  • Benzalkonium chloride pada dosis 18-20 mg/liter melalui perendaman selama 2-3 hari.
  • Pengobatan herbal dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman.
    • Kelembak (Rheum officinale L) dengan cara : mencacah 1 kg daun hingga halus lalu dicampur kedalam 20 L air. gunakan air tersebut untuk meendam ikan yang sakit selama 6-12 jam. atau dapat juga dengan mencacah 20 l air untuk disebarkan ke kolam dengan luas 1/5 ha.
    • Kucing-kucingan /antingan (Acalypha indica L) dengan cara mencacah hingga halus 125-500 g daun kering atau 2 kg daun segar lalu dicampurkan kedalam pakan untuk 100 kg ikan dengan pemberian 3 kali sehari selama 3 hari.
    • Labathing, kalapapa (Pinus massobniana) dengan cara : 250 g daun dikeringkan dan dibuat bubuk untuk perendaman atau dapat juga dengan mencaah hingga halus 100 kg ikan dan disebarkan ke kolam.
    • Manis, brobos krebo (Artemisia vulganris L ) dengan cara : mencapur 100 g daun yang sudah dibuat serbuk dengan pakan yang untuk diberikan kepada 10.000 ekor ikan
E.Pengendalian :

PENYAKIT BAKTERIAL

Penyakit Merah (Motile Aeromonas Septicemia)
A. Penyebab : Aeromonas hydrophila
B. Karakteristik Patogen :
  • "Penyakit Merah" merupakan penyakit bakterial yang sering terjadi pada semua umur & jenis ikan air tawar, meskipun jenis bakteri tersebut sering ppula di temukan pad aikan air payau dan laut.
  • Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan dengan kondisi stress akibat : kepadatan tinggi, malnutrisi, penanganan yang kurang baik, infeksi parasit, bahan organik tinggi, oksigen rendah, kualitas air yang buruk, fluktuasi suhu air yang ekstrim, dll.
  • Serangan bersifat akut, dan apabila kondisi lingkungan terus merosot, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%
C. Gejala Klinis :
  • Warna tubuh kusam/gelap, nafsu makan menurun, mengumpul dekat saluran pembuangan, kulit kasat, dan ekses lender.
  • Pendarahan pada pangkal sirip, ekor, sekitar anus dan bagian tubuh lainnya.
  • sisik lepas, luka di sekitar mulut, dan bagian tubuh lainnya.
  • Pada infeksi berat, prut lembek dan bengkak (dropsy) yang berisi cairan merah kekuningan
  • Ikan mati lemas sering ditemukan di permukaan maupun dasar kolam.
D. Diagnosa :
  • Isolasi dan identifikasi bakteri melalui i=uji bio-kimia
  • Deteksi gen bakteri melalui teknik polymerase chain reaction (PCR)
F. Pengendalian :
  • Pencegahan secara dini (benih) melalui vaksinasi anti- Aeromonas hydrophila.
  • Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan ikan
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, bilogi)
  • Memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlatur dan/atau meningkatkan frekuensi pergantian air baru.
  • Pengelolaan kesehatan ikan secara terpadu (ikan, lingkungan dan pathgogen)
  • Pengobatan dengan herbal dapat menggunakan :
    • Daun babadotan (Ageratum conyzoides L) dengan cara : menyebarkan daun babadotan segar kekolam secara merata atau dapat diberikan sebagai pakan dengan dosis 30 kg daun untuk 100 kg ikan selama 5-7 hari. sementara untuk transportasi ikan kurang lebih 200 ekor benih ukuran 1 inchi, dapat menggunakan 20 lembar daun babadotan yang dimasukan dalam 50 liter air.
    • Bawang putih (Allium satium L) seperti pada pengendalian Trichodiniasis.
    • Gadung (Dioscorea hispida dennst) dengan cara : umbi dan daun gdaung dicacah hingga halus, kemudian dicampur dengan air. gunakan air tersebut untuk merendam ikan yang sakit.
    • Jambu biji (Psidium guajava L) dengan cara : 4-5 g daun jambu biji dicacah halus kemudian dicampur dengan 1 liter air, lalu campur dengan pakan. cara lainnya juga dapat dilakukan dengan mencacah 1-2 g daun jambu biji kemudian campur 5 liter air. gunakan air tersebut untuk merendam ikan sakit selama 48 jam.
    • .Jinten hitam (Nigella sativa L) dengan cara : menghaluskan jinten hitam secukupnya, kemudian campur dengan pakan
    • Jombang (Taraxacum offinale) dengan cara : untuk pencegahan gunakan 0,3-0,6 g daun jombang. lalu cacah hingga halus, lalau g daun jombang. cacah hingga halus lalu campur dengan 1 liter air, gunakan air tersebut untuk merendam ikan sakit.
    • Daun kelor (Moringa oleifera Lamk) dengan cara cacah hingga halus 5 g daun kelor, lalu campur dengan 100 ml air kemudian disaring. hasil air saringan tersbut kemudian campurkan dengan air untuk merendam ikan yang sakit.
    • Ketapang (Terminalia cattapa) dengan cara mencacah 60 g daun ketapang hingga halus, lalu campurkan kedalam 1 liter air, air tersebut digunakan untuk merendam ikan yang sakit
    • Kirinyuh (Chromolaena ordorata) dengan cara : mencacah batang dan daun kirinyuh, lalu dicampur dengan 10 ml air. hasil campuran tersebut kemudian ditambahkan dengan 10 l air, lalu digunakan untuk merendam ikan yang sakit.
    • Kunyit/kunir Tumeric (Curcuma longa) dengan cara : menghaluskan 1 g kunyit hingga menjadi bubuk, lalu campur dengan 1 kg pakan. berikan pakan yang telah dicampur dengan kunyit selama beberapa hari pada ikan yang sakit.
    • Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa Scheff Boerl) dengan cara menyemprotkan pakan dengan air rendaman daun mahkota dewa yang telah dicacah dan diremas-remas terlebih dahulu dengan dosis 5 ml per 100 g pakan.
    • Meniran (Phyllanthus niruri L, P urinaria L) dengan cara : 5 g daun yang sudah dijadikan bubuk dicampur dengan 1 liter air untuk perendaman selama 5 jam. jika dicapur pakan, dibutuhkan 20 g daun yang dicacah halus kemudian campur dengan 1 kg pakan.
    • Merica (Polygonum hydropiper L) dengan cara : menggerus tanaman merica lalu dioleskan pada luka di kulit ikan.
    • Orang aring (Eclipta alba) dengan cara: daun dan batang orang aring dicacah lalu dicampur air, kemudian gunakan air tersebut untuk merendam ikan yang sakit.
    • Ptikan kerbau/Mangkokan (Euphorbia hirta) dengan cara : 6-9 g daun segar dicacah hingga halus, lalu campur dengan air. gunakan air tersebut untuk merendam ikan yang sakit.
    • Pegagang /antanan/kaki kuda (catella asiantica linn) dengan cara: konssentrasikan larutan pegagang dengan dosis 250 mg dalam 10 L air, gunakan campuran tersebut untuk merendam ikan.
    • Pepaya (carica papaya L., Famili Cariccacea) dengan cara sama seperti pengobatan pada penyakit yang disebabkan oleh Ichthyophthirius multifiliis)
    • Samboja /Kamboja/Kamboja Putih (Plumeria acuminata) dengan cara : melarutkan 600-700 mg ekstrak daun kamboja kedalam 1 liter air untuk perendaman ikan sakit selama 3 jam. atau dapat juga dengan mencacah hingga halus 10 kg daun segar kemudian ditebar kedalam kolam dengan luasan 100 m2 selama 3 hari.
    • Seruni (Wedia calendulacea) dengan cara : 4-40 mg daun dilarutkan kedalam 1 L air dan digunakan untuk merendam ikan selama 24-28 jam.
    • Sirih (Piper betle L) dengan cara sama seperti pengobatan pada penyakit yang disebabkan pada penyakit yang disebabkan oleh Ichthyophthirius multifiliis)
    • Selada (Lactuca sativa) dengan cara : digunakan sebagai pakan ikan dengan dosis secukupnya.
    • Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dengan cara : rimpang segar direbus, airnya digunakan untuk ikan yang sakit. dapat juga dengan cara rimpang diparut, lalu dioleskan pada luka atau borok.

Sabtu, 13 Desember 2014

Perkinsiosis

A.Penyebab : Perkinsus olseni/atlanticus
B.Karakteristik Patogen :
  • Beberapa spesies dari genus Perkinsus diketahui sebagai penyebab penyakit perkinsosis pada moluska seperti tiram, kerang-kerangan, dan abalon, Perkinsus olseni/atlanticus merupakan jenis yang keberadaannya sudah terdeteksi pada kerang-kerangan di perairan Indonesia.
  • Beberapa jenis moluska yang diketahui peka terhadap infeksi parasit ini, antara lain : blacklip dan greenlip abalon  (Haliotis rubra & H. Laevigata), straircase abalone (Haliotis scalaris), whirling abalone (Haliotis scalaris), whiring abalone (Haliotis cyclobates) dan pearl oyster (Pincatada sugillata, Pinctada maxima). Sedangkan dari kelompok kerang-kerangan yang peka, antara lain : crocus clam (Tricna crocea), rugose giant clam (Tridacna maxima), giant clam (Tridacna gigas), dan sand cockle (Katelysia rhytiphoro).
  • Penyakit perkinsosis umumnya menyerang abalone ukuran konsumsi.
  • Penularan parasit berlangsung secara horizontal, dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang masih bebas.
  • Pre-zoosporangia yang keluar dari nodule yang pecah atau dari abalone yang mati, akan berkembang menjadi zoosporangia di lingkungan perairan.
  • Dalam tempo 9 hari (20 oC) atau 3 hari (28 0C), ratusan biflagelata zoospore akan keluar dari zoosporanganium, untuk selanjutnya siap untuk menginfeksi moluska yang lain.
C. Gejala Klinis :
  • Individu yang menderita perkinsosis, mungkin menunjukkan salah satu atau lebih gejala berikut. Namun, Penyakit mungkin masih diderita meskipun tanpa gejala klinis yang jelas (sub-klinis)
  • Pada blacklip dan greenlip abalone, mungkin tampak adanya nodule (benjolan berwarna coklat hingga berdiameter 8 mm) pad akaki dan mantel
  • Lesi berbentuk bulat dan berwarna coklat pucat pada abalone ukuran konsumsi
  • Kematian antara 30-40% pada greenlip abalone ukuran panjang 3-4 cm.
D. Diagnosa :
  • Infeksi P. olseni/atlanticus umumnya ditandai adanya nodule/benjolan pada kaki dan/atau mantel, alat pencernaan pucat, kurus, dan pertumbuhan lambat, lemah,d an mantel mengkerut.
  • Sangat sulit untuk mengdiagnosa perkinsosis hanya didasarkan gejala klinis semata, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratories untuk tujuan konfirmatif diagnosis.
F. Pengendalian :
  • Tindakan karantina

Isopodiasis

A. Penyebab : Nerocilla orbiguyi, Alitropus typus, dll.
B. Karakteristik Patogen :
  • Isopod merupakan parasit pemakan darah " blood feeder " yang berukuran relatif besar (10-50 mm), dan tubuhnya terdiri dari beberapa segmen yang dilengkapi dengan sepasang mata.
  • Parasit ini menginfeksi ikan pada saat di perbenihan, pembesaran maupun pada stadia induk dan hampir semua jenis ikan rentan terhadap infeksi parasit ini terutama pad aikan-ikan berisik
  • Parasit menempel pada permukaan tubuh ikan, di dalam mulut, lubang hidung atau tutup insnag.
  • kasus serius umumnya terjadi pada budidaya ikan, di dalam mulut, lubang hidung atau tutup insang.
  • Kasus serius umumnya terjadi pada budidaya ikan di keramba jaring apung (KJA), baik ekosistem air tawar maupun air laut.
  • Penularan terjadi secara horizontal, dan pemicunya antara lain karena kondisi perairan dan kepadatan yang tinggi.
  • ikan lambat tumbuh, bahkan sering mengakibatkan kematian karena mengalami anemia atau karena infeksi sekunder oleh bakteri.
C.Gejala Klinis :
  • Luka serta pendarahan pada tempat gigitan, dan secara visual parasit ini tampak menempel pada tubuh ikan terutama di bawah sisik atau pada pangkal sirip
  • Hilang keseimbangan, lemah, dan nafsu makan turun.
  • Nekrosa pada jaringan insang atau kulit ikan.
D. Diagnosa :
  • Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan
F. Pengendalian :
  • Merontokkan parasit dalam wadah terbatas dengan bahan aktif Temephos (Abate) pada dosis 1 mg/liter (akuarium) 
  • setelah parasit rontok, ikan dipindahkan ke wadah lain untuk diobati dengan desinfektan untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri pada bekas gigitan parasit.
  • Menggunakan spot light pada malah hari untuk mengumpulkan parasit tersebut pada satu lokasi, kemudian diangkat dengan jaring

Argulosis

A. Penyebab : Argulus sp.
B. Karakteristik patogen:
  • Parasit ini dikenal sebagai  "kutu aikan" dan penghisap darah
  • Berbentuk daftar, dan lebih nampak seperti piring
  • Melukai tubuh ikan dengan bantuan enzim cytolytic
  • Selain pada kulit, kutu ini juga sering dijumpai di bawah tutup insang ikan
  • Hampir semua jenis ikan air tawar rentan terhadap infeksi parasit ini
  • Pada intensitas serangan yang tinggi, ikan dewasapun dapat mengalami kematian karena kekurangan darah.
C. Gejala Klinis :
  • Secara visual parasit ini tampak seperti kutu yang menempel pada tubuh ikan, disertai dengan pendarahan di sekitar tempat gigitannya.
  • Iritasi kulit, hilang keseimbangan, berenang zig zag, melompat ke permukaan air dan menggosok-gosokkan badannya pada benda keras yang ada di sekitarnya
D. Diagnosa :
  • Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan
F. Pengendalian :
  • Pengertian dasar kolam yang diikuti dengan pengapuran
  • Perendaman dalam larutan amonium Klorida (NH4Cl) pada dosis 1,0 - 1,5 % selama 15 menit, atau garam dapur 500-1000 mg/liter selama 24 jm atau lebih, diulang setiap minggu selama 4 kali pemberian
  • Potassium permanganate (PK) 2-5 mg/L selama 24 jam atau lebih
  • Pemberian Temephos (Abate) pada dosis 1 mg/Liter (akuarium ) dan 1,5 mg/liter (kolam)

Lerniasis

A.Penyebab : Lernaeae cyprinaceae dan L arcuata
B. Karakteristik Patogen :
  • Parasit ini dikenal debagai cacing jangkar (anchor worm)
  • Menempel ke tubuh ikan dengan "jangkar" yang menusuk dan berkembang di bawah kulit.
  • Badan parasit dilengkapi dengan dua buah kantung telur akan terlihat menggantung di luar tubuh ikan.
  • Hampir semua jenis ikan air tawar rentan terhadap infeksi parasit ini, terutama yang berukuran benih.
  • Pada tingkat infeksi yang tinggi dapat mengakibatkan kasus kematian yang serius.
C. Gejala Klinis :
  • Terlihat menyerupai panah yang menusuk tubuh ikan. terkadang pada tubuh parasit ditumbuhi lumut sehingga ikan yang terinfeksi terlihat seperti membawa bendera hijau.
  • terjadi luka atau pendarahan pada lokasi tempat penempelannya. pada benih ikan dalamnya tusukan bisa mencapai organ dalam sehingga dapat mengakibatkan kematian.
D. Diagnosa :
  • Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tubuh ikan
E. Pengendalian
  • Pengendapan dan penyaringan air masuk
  • Pemusnahan ikan yang terinfeksi dan pengeringan dasar kolam yang diikuti dengan pengapuran.
  • Pemberian Temephos (Abate) pada dosis 1 mg/liter (akuarium) dan 1,5 mg/liter (kolam).

Benediasis

A.Penyebab :Benedinia sp. dan Neo Bnedinia sp
B. Karakteristik Patogen :
  • Pemakan darah "blood feeder" menginfeksi ikan air laut, terutama kakap, dan kerapu.
  • Parasit tergolong pada Cpsalid monogenea, yaitu sejenis cacing trematode.
  • Kasus serius umunya terjadi pada budidaya ikan di kermaba jaring apung (KJA)
  • Parasit dapat mengakibatkan kebutaan apabila organ maya yang menjadi lokasi penempelannya, dan luka yang diakibatkannya merupakan pintu masuk bagi bakteri penginfeksi sekunder.
  • Kematian akibat infeksi berat parasit ini bida mencapai 30 %
C.Gejala Klinis.
  • Luka serta pendarahan pad atempat gigitan, dan secara visual (setelah ikan yang terinfeksi direndam dalam air tawar untuk beberapa menit ) parasit ini tampak menempel pada tubuh ikan terutama pada sisik atau pada sirip.
  • Pada infeksi berat parasit tersebut bisa menginfeksi mata, sehingga mata ikan akan kelihatan memutih.
D. Diagnosa
  • Secara visual terlihat adanya parasit yang menempel pada tuh ikan, kalau ikan ditempatkan dalam air tawar.
F. Pengendalian :
  • Merontokkan parasit dalam wadah terbatas dengan menggunakan air tawar selama 2-5 menit.
  • Perendaman dalam larutan hydrogen peroxide (H2O2) pada dosisi 150 mg/L selama 10-30 menit
  • Setelah parasit rontok, ikan dipindahkan ke wadah lain untuk diobati dengan desinfektan terdaftar untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh bakteri pada bekas gigitan parasit.

Cacing inang pada ikan laut

A.Penyebab : Haliotrema spp., Psedorhabdosynochus spp.,
B. Karakteristik patogen :
  • Cacing kecil yang bersifat ekto-parasit, bersifat obligat parasitik (ikan sebgai satu-satunya inang definitif).
  • Setidaknya telah diketahui cacing monogenetic trematode yang menginfeksi organ insang ikan budidaya air laut. Dua atau kemungkinan tiga spesies monogenea tergolong ke dalam genus Pseudorhabdosynochus, Pseudorhabdosynochus latesi, P. Monosquamodiscusi, dan Diplectanum penangi pada semua jenis ikan : sementara P epinepheli umumnya ditemukan pada kelompok ikan kerapu.
  • Selama hidupnya harus menginfeksi ikan sebagai inang definitif.
  • Faktor pemicu terjadinya ledakan infeksi antara lain spesies ikan, malnutrisi, dan fluktuasi parameter kualitas air.
C.Gejala Klinis :
  • Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, dan lamban.
  • Frekwensi pernapasan meningkat dan produksi mukus pada inang berlebih.
  • Berkumpul /mendekat ke air masuk.
  • Inang pucat atau membengkak sehingga operkulum terbuka.
D. Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
F. Pengendalian :
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan ) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air.
Ikan yang terserang cacing insang dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, dapat diobati dengan pengobatan herbal dengan menggunakan tembakau (Nicotiana tabacum L) dengan cara sebagaimana pada pengendalian Dactylogriasis (cacing insang)

Gyrodactyliasis (cacing kulit)

A.Penyebab :Gyrodactylus spp.
B. Karakteristik Patogen :
  • Cacing kecil yang bersifat ekto-parasit, bersifat obligat plastik (ikan sebagai satu-satunya inang definitif), dan berkembang biak dengan beranak.
  • Gyrodactylus sp. tidak memiliki titik mata, dan pada ujung kepalanya terdapat 2 buah tonjolan.
  • Penularan terjadi secara horizontal, pada saat anak cacing lahir dari induknya.
  • Menginfeksi semua jenis ikan air tawar, terutama ukuran benih dan organ target meliputi seluruh permukaan tubuh ikan, terutama kulit dan sirip.
  • Selama hidupnya harus menginfeksi ikan sebagai inang definitif, infeksi berat dapat mematikan 30-100% dalam tempo beberapa minggu ; terutama sebagai akibat infeksi sekunder oleh bakteri dan cendawan.
  • Faktor pemicu terjadinya ledakan infeksi antara lain spesies ikan, malnutrisi, bahan organik yang tinggi dan fluktuasi parameter kualitas air terutama suhu
C. Gejala Klinis :
  • Nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, pertumbuhan lambat, dan produksi lendir berlebih.
  • Peradangan pada kulit disertai warna kemerahan pada lokasi penempelan cacing.
  • Menggosok-gosokkan badannya pada benda di sekitarnya.
D. Diagnosa:
  • Pengamatan serta visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul 
E.Pengendalian :
  • Mempertahankan kualitas air terutama stabilitas suhu air lebih besar dari 29 0C.
  • Pemberian unsur immunostimulan (misanya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air.
  • Ikan yang terserang gyrodactyliasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa jenis desinfektan, antara lain :
    • Perendaman dalam larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000 mg/liter (tergantung jenis dan umur ikan ) selama 24 jam
    • Perendaman dalam larutan kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 mg/liter selama 12 jam.
  • Untuk pengobatan herbal dalam hal mencegah dan mengobati penyakit ini sama dengan pengendalian penyakit Dactylogyriasis (cacing insang).

Dactylogyriasis (cacing insang)

A.Penyebab : Dactylogyruss spp., Cychlidogyruss spp., Quadricanthus spp.,
B. Karakteristik Patogen :
  • Cacing kecil yang bersifat ekto-parasit, bersifat obligat parasitik (ikan sebagai satu-satunya inang definitif), dan berkembang biak dengan bertelur.
  • Menginfeksi semua jenis ikan air  tawar, terutama ukuran benih dan insang sebagai organ target infeksi. penularan terjadi pada saat fase infektif (Onchomiracidium).
  • Dactylogyrus spp. memiliki 2 pasang titik matan, dan pada ujung kepalanya terdapat 4 buah tonjolan. Cychlidogyrus spp., bentuknya lebih pipih pada kedua ujungnya, dan hanya memiliki sepasang titik mata. Quadricanthus spp. bentuknya mirip Dactylogyrus spp., dan memiliki host species spesifik target  yaitu kelompok ikan catfish.
  •  Selama hidupnya harus menginfeksi ikan sebagai inang definitif, sangat ganas, infeksi berat dapat mematikan 30-100% dalam tempo beberapa minggu.
  • Faktor pemicu terjadinya ledakan infeksi antara lain spesies ikan, malnutrisi, bahan organik yang tinggi dan fluktuasi parameter kualitas air terutama suhu.
C.Gejala Klinis :
  • Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, gelisah dan lamban.
  • Frekwensi pernapasan meningkat, produksi mukus pada insang berlebh dan sering meloncat-loncat.
  • Berkumpul/mendekat ke air masuk
  • Insang pucat atau membengkak sehingga operkulum terbuka
D. Diagnosa
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
E. Pengendalian
  • Mmepertahankan kualitas air terutama stabilitas suhu air lebih besar dari 29 0C.
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan ) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau menignkatkan frekwensi pergantian air.
  • Ikan yang terserang dactylogyriasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan  dapat dilakukan dengan beberapa jenis desinfektan, antara lain
  • Perendaman dalam larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000 mg/liter (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam.
  • Perendaman dalam larutan kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 mg/liter selama 12 jam
  • Glacial acetic acid 0,5 ml/L selama 30 detik setiap 2 hari selama 3-4 kali.
Pengobatan secara herbal dapat menggunakan:
  • Mengkudu (Orinda citrifolia L) dilakukan dengan cara : mencacah 20 lembar daun lalu diremas-remas dalam 5 liter air, kemudian airnya digunakan untuk merendam ikan yang sakit. daun dan buah mengkudu juga sangat baik untuk pakan harian ikan nila dan tawes.
  • Petai cina atau biasa juga disebut dengan kemlandingan atau lamtoro (Leucaena leucocephala) daun sebanyak 2 gram dengan pakan. kemudia pakan tersebt diberikan kepada 1 kg ikan.
  • Pinang jambe (Area catechu L) juga dapat digunakan sebagai obat herbal dengan cara mencacah 1 bagian batang kemudian dicmapur dengan 5 bagian pakan.
  • Teh (Thea sinensia L) dengan cara : melarutkan 10-20 mg teh, kemudian dilarutkan kedalam 1 liter air.
  • Tembakau (Nicotiana tabacum L) dengan cara : 300-400 kg daun dan batang yang segar per 1 hektar luas kolam ditebar selama 1 minggu, baru kolam siap dilakukan penebaran benih.

Myxosporidiasis (Penyakit gembil)

A.Penyebab : Myxosporea dari genera Myxobolus, Myxosoma, Thelohaneluus, dan Henneguya
B.Karakteristik Patogen :
  • Myxosporea berbentuk seperti buah pir atau biji semangka (kwaci), terbungkus dalam kista yang berisi ribuan spora.
  • Di dalam spora Myxobolus dan Myxsoma terdapat 1-4 polar kapsul dan sporoplasma. pada saat spora belum matang, 2 inti sporoplasma melebur menjadi satu sebelum atau setelah sporoplasma terlepas. organ yang baru terbentuk ini memiliki vakup;a yang disbut vakuola iodinophilous.
  • Keberadaan vakuola iodinophilous ini menjadi pembeda dua genera Myxsporea, yaitu Myxosoma (tanpa vakuola iodinophilous) dan Myxobolus (dengan vakuola iodinophilous).
  • Infeksi myxsporea terjadi pada saat spora bebas dimakan oleh inang dan masuk ke dalam usus. di dalam usus, spora tersebut pecah mengeluarkan sporoplasma, dan selanjutnya bergerak secara amoeboid masuk dalam sirkulasi darah dan terbawa ke organ target infeksi.
  • Inang umumnya jenis-jenis ikan dari kelompok cyprinidae, labirinth dan salmonidae. menginfeksi jaringan ikat tapis inang, tulang karting, otot/daging, dan beberapaorgan dalam ikan (terutama benih)  di Indonesia, jenis ikan yang sering terinfeksi myxosporea antara lain benih ikan mas, tawes, sepat, gurame dan tabakan.
  • Prevalensi serangan bervariasi dari rendah sampai sedang dengan mortalitas berpola kronis.
C. Gejala Klinis :
  • Terlihat adanya benjolan putih seperti tumor berbentuk bulat-lonjong menyerupai butiran padi pada insang ikan.
  • Pada infeksi berat, tutup insang (operkulum) tidak dapat menutup sempurna, sirip ekor bengkok dan berwarna gelap.
  • Bengkak-bengkak/ gembil di bagian tubuh (kanan/kiri) struktur tulang yang tidak normal.
  • Berenang tidak normal, berdiam di dasar dan akhirnya mati.
D.Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas.
F. Pengendalian :
  • Persiapan kolam (pengeringan dan desinfeksi kolam) untuk memutus siklus hidup parasit.
  • Ikan yang terinfeksi segera diambil dan dimusnahkan
  • Hindari penggunaan air dari kolam yang sedang terinfeksi parasite.
  • Pengendapan yang dilengkapi dengan filtrasi fisik (batu, ijuk, kerikil dan pasir)
  • Belum ada bahan kimia yang efektif untuk mengobati penyakit ini.

Microsporidiasis (cotton shrimp disease)

A. Penyebab :Microsporidia dari gnera Thelohania, Nosema dan Peistophora
B. Karakteristik Patogen :
  • Microsporidiosis sering disebut sebagai penyakit udang kapas dan/atau usang susu.
  • Microsporida memiliki lebih dari 8 spora dalam tiap kapsul
  • Hampir semua jenis udang penaeid dilaporkan paling sedikit rentan terhadap infeksi slah satu jenis dari parasit golongan microsporidia, meskipun ada indikasi lokal spesifik.
  • Microspodia menginfeksi udang akan menggantikan/mengisi jaringan/otot/daging dan berkembang, tanpa mengakibatkan respon inflamasi dari jaringan di sekelilingnya.
  • Patogenesitas rendah, tingkat prevalensi dalam satu populasi umumnya tidak lebih dari 5 % dan mortalitas yang diakibatkannya juga relatif rendah
C. Gejalan Klinis :
  • Bagian tubuh udang yang terinfeksi berwarna putih susu dna lebih lunak
  • Spora yang berwarna putih menyebar di bagian daging/otot (internal parasite) 
  • UDang lemah, mudah stress, nafsu makan menurun, lamban sehingga mudah dimangsa predator, serta mudah mati setelah penanganan (handling)
D. Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang cukup jelas
E. Pengendalian :
  • Persiapan wadah/petak pemeliharaan yang baik (desinfeksi, pengeringan dasar tambak dan sumber air yang bebas dari microsporidia)
  • Udang yang terinfeksi segera dimusnahkan, mengurangi potensi penularan secara horizontal
  • Untuk memotong siklus hidup parasit, hindari pemberian pakan berupa ikan rucah yang terinfeksi microsporidia
  • Tidak ada bahan kimia yang efektif untuk mencegah dan/atau mengobati penyakit microsporidiasis.

Penyakit dekil (Fouling Disease)

A. Penyebab :Zoothamnium spp., Epistylis spp., Vorticella spp., Acineta spp
B. Karakteristik Patogen :
  • Fouling disease umumnya disebabkan oleh mikroorganisme dari kelompok Protozoa, meskipun sering pulan berasosiasi dengan algae seperti Nitzchia spp., Amphiprora spp., Navicula spp., Enteromorpha spp., dll.
  • Kompleks infeksi mikroorganisme tersebut akan menganggu pergerakan udang terutama larva, kesulitan makan, berenang, serta proses molting karena organ insnag dan/atau seluruh tubuh dipenuhi organisme penempel.
  • Faktor pemicu terjadinya ledakan penyakit antara lain, kepadatan tinggi, malnutrisi, kadar bahan organik yang tinggi, dan fluktuasi parameter kualitas air terutama suhu.
C. Gejala Klinis :
  • Berenang ke permukaan air dan tubuhnya berwarna buram/kotor
  • insang yang terinfeksi berwarna  kemerahan atau kecoklatan
  • lemah, kesulitan bernafas dan nafsu makan menurun, akhirnya mati.
  • Proses ganti kulit (moulting) terhambat, dan timbul peradangan pada kulit
D. Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
E. Pengendalian :
  • Pesiapan wadah/petak pemeliharaan yang baik (desinfeksi dan sumber air yang bebas mikroorganisme penempel)
  • memperbaiki kualitas air secara keseluruhan, terutama mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air baru.
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Merangsang proses ganti kulit melalui memanipulasi parameter kualitas air yang merupakan faktor determinan.
  • udang yang terserang "fouling disease " dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah dapat dilakukan melalui pengobatan dengan herbal dengan menggunakan akar kuning (Arccangelisia flava Merr) seperti pada pengobatan bintik putih (white spot) atau " Ich".

Trichodiniasis atau Penyakit Gatal

A. Penyebab : Trichodina spp, Trivhodinella spp., dan Tripartiella spp

B. Karakteristik Patogen :
  • Protozoa dari golongan ciliata, berbentuk bundar, simetris dan terdapat di ekosistem air tawar, payau dan laut. Trichodina spp. berukuran 45 - 7.
  • Memiliki cincin dentikel berupa cakram yang berfungsi sebagai alat penempel.
  • Inang parasit adalah semua benih ikan air tawar, payau dan laut. menginfeksi organ kulit, sirip dan insang ikan yang baru menetas hingga umur 1 bulan.
  • kelompok parasit ini umumnya lebih bersifat komensalis dari pada parasitik sejati, karena hanya memakan sel-sel kulit ikan yang mati/hancur. namun karena struktur alat penempel yang keras (chitin), sering mengakibatkan iritasi dan luka pada kulit ikan.
  • Kematian ikan yang diakibatkannya bisa mencapai 50% dari total populasi, terutama akibat infeksi sekunder oleh bakteri/atau cendawan.
C. Gejala Klinis :
  • Warna tubuh pucat, nafsu makan menurun, kurus, gelisah dan lamban
  • menggosok-gosokkan badan pada benda di sekitarnya (gatal).
  • Frekwensi pernafasan meningkat dan sering meloncat-loncat.
  • Iritasi sel epitel kulit, produksi lendir berlebih sehingga berwarna kecoklatan atau kebiruan.
  • Sirip rusak, menguncup atau rontok.
D. Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul
E.Pengendalian :
  • Mempertahankan kualitas air terutama stabilitas suhu air lebih dari 29 0C
  • Mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air.
  • ikan yang terserang trichodiniasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan beberapa jenis desinfektan, antara lain:
    • Perendaman dalam larutan garam dapur (untuk ikan air tawar) pada konsentrasi 500-10.000 mg/liter (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam,
    • Perendaman dalam air tawar (untuk ikan air laut) selama 60 menit, dilakukan pengulangan setiap hari.
    • Perendaman dalam larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 mg/liter selama 12 jam.
    • Glacial acetic acid 0,5 ml/L selama 30 detik selama 2 hari selama 2-3 kali
    • Coper sulphate 0,0001 mg/L selama 24 jam atau lebih, diulang setiap 2 hari sekali.
    • Hidrogen peraxide (3%) 17,5 ml/L selama 10 menit, diulang setiap 2 hari
    • Pengobatan dengan herbal dapat menggunakan:
      • Bawang putih (Alliu sativum L) dengan cara : sama dengan untuk pengendalian penyakit ichthyophthiriasis
      • Akar kuning (Arcangelisia flava Merr) dengan cara seperti pada pengobatan Bintik putih (white spot) atau "Ich" .

Oodiniasis

A. Penyebab : Piscinoodinium sp. (syn :Oodinium sp)
B. Karakteristik patogen :
  • Merupakan ekto-parasit berntuk bulat.
  • Fase parasitik berbentuk seperti buah pir, diselaputi membran dan apendik menyerupai rizoid sebagai alat penempel pada ikan. lamanya fase ini tergantung pada suhu air, pada suhu 25 0C selama kurang lebih akan mencapai dewasa.
  • Infeksi yang berat  dapat mematikan hingga 100% dalam  tempo beberapa hari.
  • Organ yang mejadi target infeksi meliputi kulit, sirip dan insang.
  • Setlah dewasa , parasit melepaskan diri dari inang, gymnospore. Gymnospore adalah stadia infektif yang berenang seperti dalam tempo 15 - 24 jam tidak menentukan inang, stadia tersebut akan mati.
C. Gejala Klinis
  •  Ikan terlihat gelisah, tutup insnag mengembang, sirip-sirip terlipat, dan cepat kurus. Populasi parasit di kulit mengakibatkan warna keemasan, berkarat atau putih kecoklatan (dekil) sehinggasering disebut "velvet  disease".
  • ikan sering melakukan gerakan mendadak, cepat dan tak seimbang "flashing" dan akan terlihat jelas pada saat pagi atau sore hari.
  • Mengosokkan tubuhnya di benda keras yang ada disekitarnya, dan warna tubuh pucat.
D.Diagnosa :
  • Pengamatan secara visual terhadap adanya parasit pada kulit, sirip dan insang ikan.
Pengendalian :
  • Mempertahankan suhu agar selalu > 29 0C 
  • Pemindahan populasi ikan yang terinfeksi parasit ke air yang bebas parasit sebanyak 2-3 kali dengan interval 2-3 hari.
  • Pengobatan dan/atau pemberantasan parasit, antara lain dapat dilakukan melalui perendaman dengan:
    • Air garam (1-10 gr/liter, tergantung spesies dan ukuran ikan ) selama beberapa jam, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2-3 hari.
    • larutan hydrogen peroxide (H202) pada dosis 150 mg/liter selama 30 menit, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2 hari.
    • Larutan kupri sulfat (CuSo4) pada dosis 0,5 - 1,0 mg/liter selama 5-7 hari dengan aerasi yang kuat, dan air harus diganti setiap hari.

Jumat, 12 Desember 2014

Crytocaryasis (marine white spot)

A. Penyebab : Cryptocaryonirritans
B. Karakteristik Patogen :
  • Berbentuk bulat atau oval berukuran antara 0,3 - 0,5 mm. dan emmpunyai dengan silia
  •  Bersifat obligat parasitik (memiliki karakter biologi yang hampir sama dengan parasit "Ich")
  • Sangat ganas, pada infeksi berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari.
  • menginfeksi jenis ikan budidaya air laut (kerapu, kakap, baronang, dll). terutama ukuran benih, meskipun ukuran dewasa juga rentan apabila kekebalan tubuhnya merosot.
C. Gejala Klinis :
  • Nafsu makan menurun, kurus, warna tubuh gelap, gelisah, lesu dan lemes.
  • mengosok-gosokkan badan pada benda disekitarnya.
  • Frekwensi pernapasan meningkat (megap-megap), mendekat ke air masuk.
  • bintik-bintik putih atau insang, produksi mukus berlebih, dan sirip menguncup.
  • Pada infeksi berat, bintik-bintik putih atau nampak seperti salju yang disertai pendarahan, dan mata buram hingga menyababkan kebutaan.
  • Infeksi sekunder oleh bakteri akan memperparah kondisi kesehatan hingga mempercepat proses kematian.
D. Diagnosa :
Pengamatan secara visual terhadap adanya bintik putih (parasit) pada kulit, sirip dan insang ikan.

E. Pengendalian :
  • Mempertahankan suhu agar selalu > 29 0C
  • Pemberian immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Pemindahan populasi ikan yang terinfeksi parasit ke air yang bebas parasit sebanyak 2-3 kali dengan inteval 2-3 hari.
  • Pengobatan dan/atau pemberantasan parasit dapat dilakukan melalui perendaman dengan menggunakan:
    • Air bersalinitas rendah (0-8 gr/liter) selama beberapa jam (tergantung spesies dan ukuran), dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang selama 2-3 hari.
    • larutan hydrogen peroxide (H202) pada dosis 150 mg/liter selama 30 menit, dipindahkan ke air yang bebas parasit dan diulang setiap 2 hari.
    • Larutan kupri sulfat (CuSO4) pada dosis 0,mg/liter selama 5-7 hari dengan aerasi yang kuat, dan air harus diganti setiap hari.

PENYAKIT PARASITIK 'BINTIK PUTIH (WHITE SPOR)/ ICH

A.Penyebab : Ichthyophthirius multifiliis atau "Ich"
B. Karakteristik Patogen :
  •     Protozoa berbentuk bulat/oval berdiameter 50-1000 mm, diselaputi silia, inti sel berbentuk seperti tapal kuda.
  • Bersifat obligat parasitic, dan pada sangat ganas, infeksi berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari.
  • Menginfeksi semua jenis ikan air tawar terutama benih (ikan tidak bersisik lebih sensitif)
C. Gejala Klinis
  • Nafsu makan menurun, gelisah
  • Menggosok-gosok badan pada benda di sekitarnya.
  • Frekuwensi pernapasan meningkat (megap-megap), mendekat ke air masuk.
  • Bintik-bintik di sirip, kulit atau insang. 
D. Diagnosa
  • Pengamatan secara visual terhadap adanya bintik putih (Parasit) pada kulit, sirip dan insang ikan
E. Pengendalian
  • Mempertahankan suhu air lebih dari 29 0C selama 2 minggu atau lebih
  • Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
  • Meningkatkan frekwensi pergantian air.
  • Pemindahan ikan pada air yang bebas "Ich" secara berkala yang disesuaikan dengan siklus hidupnya
  • Ikan yang terinfeksi "Ich" dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman menggunakan beberapa jenis desinfektan, antara lain
    •  Perendaman dalam larutan garam dapur pada konsentrasi 500 - 10.000 mg/liter (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari
    • Perendaman dalam larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 mg/liter selama 12 jam, dilakukan pengulangan setiap 2 hari
  • :Pengobatan dengan herbal dapat menggunakan :
    • Akar Kuning (Arcangelisia flava Merr) dengan cara : Daun dan buahnya direndam, kemudian dicacah hingga halus lalu dicampur air. Rendam ikan yang terinfeksi kedalam air tersebut.
    • Pepaya (Carica papaya L., Famili Cariccaceae) dilakukan dengan cara 2 g daun pepaya dicacah hingga halus kemudian dilarutkan dalam 100 ml air untuk merendam ikan yang sakit selama 1 jam. batang dan daun papaya juga dapat digunakan sebagai pakan dengan dosis 15 kg untuk 100 kg bobot ikan.
    • Bawang putih (Allium sativum L) dengan cara : menghaluskan 25 mg bawang putih kemudian dicampur dengan 1 liter air untuk perendaman ikan sakit.
    • sirih (Piper beatle L) dengan cara mencampurkan 2 g ekstrak daun sirih kedalam 60 ml air. untuk penyakit Ichthyophthirius multifilis perendaman dilakukan selama 12 jam.

Jumat, 24 Oktober 2014

CRYPTOCARYASIS



Cyptocaryasis (marine white spot)
Penyebab        : Cryptocaryonirritans
Karakteristik Patogen          :
·         Berbentuk bulat atau oval berukuran antara 0.3-0.5 mm, dan mempunyai silia.
·         Bersifat obligat parasitic (memiliki karakteristik biologi yang hampir sama dangan parasite “Ich”
·         Sangat ganas, pada infeksi berat dapat mematikan hingga 100% dalam tempo beberapa hari.
·         Menginfeksi jenis ikan budidaya air laut (kerapu, kakap, baronang, dll) terutama ukuran benih, meskipun ukuran dewasa juga rentan apabila kekebalan tubuhnya merosot.
Gejala Klinis   :
·         Nafsu makan menurun, kurus, warna tubuh gelap, gelisah, lesu dan lemas.
·         Menggosok-gosokkan badan pada benda di sekitarnya.
·         Frekwensi pernapasan meningkat (megap-megap), mendekat ke air masuk.
·         Bintik-bintik putih atau kecoklatan di sirip, kulit atau insang, produksi mucus berlenih, dan sirip menguncup.
·         Pada infeksi berat, bintik-bintik putih atau Nampak seperti salju yang disertai pendarahan, dan mata buram hingga menyebabkan kebutaan.
·         Infeksi sekunder oleh bakteri akan memperparah kondisi kesehatan hingga mempercepat proses kematian.
Diagnosa         :
Pengamatan secara visual terhadap adanya bintik putih (parasite) pada kulit, sirip dan insang ikan.
Pengendalian :
·         Mempertahankan suhu agar selalu > 290C
·         Pemberian immunostimulan (misalnya penambahan vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan.
·         Pemindahan populasi ikan yang terinfeksi parasite ke air yang bebas parasite sebanyak 2-3 kali dengan interval 2-3 hari.
·         Pengobatan dan/atau pemberantasan parasite dapat dialkukan melalui perendaman dengan menggunakan
ü  Air bersalinitas rendah (0-8 gr/liter) selama beberapa jam (tergantung spesies dan ukuran), dipindahkan ke air yang bebas parasite dan diulang setiap 2-3 hari.
ü  Larutan hydrogen peroxide (H2O2) pada dosis 150 mg/liter selama 30 menit, dipindahkan ke air yang bebas parasite dan diulang setiap 2 hari.
ü  Larutan kupri sulfat (CuSO4) pada dosis 0,5 mg/liter selama 5-7 hari dengan aerasi yang kuat, dan air harus diganti setiap hari.
Dipublikasikan oleh Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan