Aplikasi
teknologi biofloc yaitu pembesaran lele super intensif dengan menggunakan
managemen pengelolaan pakan yang baik, pemilihan strain ikan yang tepat, dan
pemilihan probiotik yang handal. Dengan luas tanah 100 m2 mampu
memproduksi 4 ton ikan lele, dengan penghasilan kotor 8-10 juta.
Kiat
budidaya ikan lele menggunakan system biofloc
Teknologi biofloc
Intensifikasi budidaya melalui peningkatan padat tebar benih dan
penggunaan pakan berprotein tinggi dilakukan guna meningkatkan produksi benih
per satuan luas. Kegiatan tersebut cukup berisiko jikakurang tepat dalam
pengelolaannya, karena menghasilkan bahan organik dalam jumlah besar yang
memacu peningkatan kadar senyawa toksik seperti amonia dan nitrit, serta
perkembangan bakteri patogen. Limbah organik, baik dalam bentuk terlarut (dissolved)
maupun padatan (suspended) tersebut juga berpotensi menurunkan daya dukung
perairan bagi kehidupan organisme akuatik dan masyarakat jikatidak dikelola
dengan baik.
Limbah cair akuakultur memiliki kandungan unsur nitrogen terlarut
sangat tinggi, dalam bentuk amonia, nitrit,dan nitrat. Jika dibuang langsung ke
perairan umum atau digunakan kembali ke kolam budidaya bisamenyebabkan kematian
ikan serta eutrofikasi yang menyebabkan gangguan ekosistem.
Di sisi lain, nutrien yang terkandung tersebut berpotensi sebagai
media bagi pengembangan pakan alami yang bisa menambah nilai ekonomis limbah
tersebut.Selain itu, populasi mikroorganisme yang ada dalam limbah cair
merupakan potensi besar karena bisamenjadi makanan alami bagi sejumlah spesies
ikan budidaya seperti nila, udang vannamei, dan udang galah. Dan ternyata, lele
pun memakan bioflok sehingga kebutuhan pakan bisaditekan.
Terkait hal ini beberapa hal yang perlu dipahami mengenai konsep
teknologi bioflok adalah sebagai berikut. 1) Pemberian pakan berprotein tinggi
mengakibatkan peningkatan kadar nitrogen (N) organik, seperti amonia dan
nitrit, karena hanya 20–25% protein pakan yang terkonversi menjadi protein
ikan, 2) amonia dan nitrit toksik bagi ikan sehingga menghambat pertumbuhan dan
menyebabkan kematian, 3) penambahan sumber karbon (C) organik, dalam bentuk
molase (tetes tebu), tepung tapioka, tepung terigu, meningkatkan rasio C:N
diatas 10 sehingga bakteri heterotrof berkembang, 4) bakteri heterotrof lebih
efektif mengkonversi N di air media menjadi biomassa sel dibandingkan
fitoplankton, 5) densitas bakteri heterotrof yang tinggi membentuk flok
“bioflok” yang bisadimanfaatkan sejumlah spesies ikan sebagai sumber pakan
tambahan, 6) agar sistem bioflok berjalan baik maka suplai oksigen (minimum 5
mg/L) dan pengadukan harus dilakukan.
Selain itu, pemilihan jenis bakteri sangat utama terhadap
keberhasilan sistem bioflok, karena tidak semua bakteri mampu membentuk
flok. Bakteri positif—yangselama ini dikenal sebagai
probiotik—merupakanpilihan tepat dalam penerapan budidaya sistem bioflok, satu
di antaranya Bacillus
subtillis.
Pemilihan jenis bakteri.Mikroba dengan kemampuan remediasi tinggi
merupakan kunci utama keberhasilan penerapan sistem bioflok. Dengan waktu
pembelahan diri yang cepat (generation time 10–12jam) maka populasi
bakteri heterotrof akan sangat cepat.
Bakteri yang dikenal handal sebagai remediator bahan organik
adalah Bacillus sp.
Tanpa mengkultuskan jenis probotik yang dipakan (gambar 4), namun berdasarkan
komposisi bakteri penyusunnya maka sangat logis kalau produk tersebut efektif
digunakan sebagai agensia perombaklimbah organik dalam sistem bioflok.
Manajemen pakan. Selain
pemilihan jenis pakan yang tepat, ada teknik tertentudalam pengolahan pakan
sebelum digunakan. Yaitu melalui penerapan sistem fermentasi pakan sehingga
nilai kecernaan pakan meningkat.
Fermentasi dilakukan dengan menambahkan probiotik sebanyak 4 ml/Kg
pakan, dibiarkan selama 2–7hari dalam tempat oksigen terbatas (an aerob).
Pada hari ke-3 fermentasi,ternyata pakan sudah ditumbuhi mikroba sehingga
berwarna keputihan.
Berdasarkan pengalaman, pakan yang telah difermentasi tersebut
memberikan hasil positif, berupa ikan yang sehat. Kebalikannya pemberian pakan
tanpa difermentasi berakibat pada banyaknya ikan yang luka. Alhasilterciptalah
sistem budidaya lele hemat pakan, karena FCR-nya 0,7 – 0,8.
Untuk menghemat biaya pakan dilakukan beberapa langkah khusus.
Yaitu 1) penggunaan pakan dengan kadar protein tinggi (28–31) dihentikan dan
diganti dengan pakan dengan kadar protein rendah, 22–24 setelah flok terbentuk
dan 2) pemuasaan sehari tiap minggu setelah flok terbentuk (kandungan flok 150
mL/L media).
Manajemen air. Sistem bioflok bukan berarti tanpa ganti air,
karena jikadensitas flok terlalu tinggi berbahaya bagi keseimbangan sistem,
khususnya kadar oksigen terlarut akan sangat rendah, sehingga ikan rawan stres
dan kematian.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air pada beberapa bak
pemeliharaan ikan lele, diketahui bahwa sistem tersebut cukup ideal, dengan
level pH 8,0 – 8,1; oksigen terlarut 1,8 mg/L (bagian atas) dan 2,1 mg/L
(bagian tengah); kadar nitrit 0 mg/L, dan kadar nitrat 0 mg/L
Literatur
Ikhsan
Khasani Peneliti Balai Penelitian Pemuliaan Ikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar